Sajian Utama edisi April 2025.
Oleh Muhammad Irfan Zidny.
Di awal mula segalanya, sebelum pena menulis sejarah dan akal menafsirkan dunia, Tuhan mengirimkan sebuah “kunci” yang membuka gerbang peradaban: “Iqra’—Bacalah.” Seruan pertama dari Tuhan kepada manusia bukan tentang harta, bukan pula kekuasaan. Tapi tentang ilmu, tentang kesadaran, tentang membangunkan ruh yang tertidur.
Wahyu pertama itu datang bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungi dan diresapi. Di sanalah pendidikan mendapat mahkota pertama dalam sejarah wahyu. Ia bukan sekadar proses menambah pengetahuan, melainkan perjalanan mendalam untuk mengenal diri, semesta, dan Tuhan. Al-Qur’an tidak hanya menjadikan ilmu sebagai cahaya, tetapi sebagai jalan keselamatan dan pondasi kekuatan umat.
Pendidikan dalam Al-Qur’an adalah tarbiyah—penumbuhan, bukan sekadar pengajaran. Ia menyentuh dimensi paling dalam dari diri manusia: membentuk akhlak, membersihkan jiwa, mempertajam akal, dan menggerakkan amal. Ia bukan hanya proses berpikir, tapi proses menjadi. Maka ketika Allah menjanjikan derajat tinggi bagi orang-orang yang berilmu (QS. Al-Mujadilah: 11), itu bukan sekadar penghargaan, tapi pengakuan atas peran ilmu dalam membentuk peradaban.
Namun, ilmu hanya bisa tumbuh dalam jasad yang sehat. Maka kesehatan menjadi pelengkap agung dalam mozaik peradaban. Dalam Al-Qur’an, kesehatan adalah bagian dari karunia dan amanah. Ketika Allah menyebut manusia sebagai ciptaan terbaik, “ahsani taqwīm” (QS. At-Tin: 4), itu berarti tubuh manusia adalah anugerah yang harus dijaga, dimuliakan, dan digunakan untuk mengabdi.
Allah tidak hanya memerintahkan umat-Nya untuk makan yang halal, tapi juga yang thayyib—baik, bersih, dan menyehatkan (QS. Al-Baqarah: 168). Ini bukan hanya ajaran fiqih, tapi filosofi hidup. Al-Qur’an mengajarkan hidup yang seimbang: antara ruh dan raga, antara ilmu dan amal, antara ibadah dan pemeliharaan tubuh.
Kesehatan dalam perspektif Qur’ani mencakup empat sisi utama:
Jasmani yang kuat dan bersih.
Ruhani yang tenang dan ikhlas.
Akhlak yang terjaga dari racun keburukan.
Sosial yang peduli terhadap lingkungan dan sesama.
Maka saat Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu,” beliau sedang mengajarkan bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Seperti halnya salat yang menjaga jiwa, menjaga pola makan dan istirahat menjaga tubuh agar tetap menjadi kendaraan bagi amal-amal besar.
Peradaban Islam dahulu bukan hanya unggul dalam pemikiran, tapi juga dalam perawatan tubuh dan kesehatan masyarakat. Rumah-rumah sakit dibangun sejajar dengan madrasah. Para ilmuwan seperti Ibnu Sina dan Ar-Razi tak hanya menulis kitab kedokteran, tapi juga memahami filosofi kesehatan dalam cahaya wahyu.
Ilmu dan kesehatan tumbuh beriringan. Pendidikan menjadi arah, kesehatan menjadi daya. Ilmu membangun kesadaran, tubuh yang sehat menggerakkannya menuju amal. Ketika keduanya seimbang, umat ini melangkah dengan pasti menuju puncak kejayaan.
Namun lihatlah kini, betapa banyak negeri yang jatuh bukan karena kekurangan kekayaan, tapi karena miskin pendidikan dan abai terhadap kesehatan. Betapa banyak anak yang tak sampai pada mimpinya, karena sakit yang tak terobati, atau karena sekolah yang tak menyentuh hatinya. Maka jika kita ingin membangkitkan kembali umat ini, mulailah dari dua pilar agung ini: pendidikan dan kesehatan.
Bayangkan sebuah bangsa,
di mana anak-anak tumbuh dalam pelukan ilmu dan gizi yang cukup.
Di mana sekolah menjadi taman ruhani dan raga.
Di mana guru mengajarkan adab sebelum pelajaran,
dan dokter menyembuhkan dengan ilmu dan kasih sayang.
Di mana pemimpin menjaga gizi rakyat seperti menjaga akidah mereka.
Itulah tanda-tanda peradaban yang akan lahir kembali.
Peradaban yang dibangun bukan di atas batu,
tapi di atas manusia-manusia yang tercerahkan pikirannya dan sehat jasadnya.
Pendidikan adalah pelita, kesehatan adalah jalannya.
Satukan keduanya, maka engkau akan melihat umat ini melangkah—
tidak terseok dan tidak ragu,
menuju masa depan yang cerah, adil, dan penuh rahmat.
Peradaban sejati bukan tentang gedung-gedung tinggi,
tetapi tentang jiwa-jiwa yang mengerti,
tubuh-tubuh yang siap mengabdi,
dan akhlak yang menjadi mercusuar di tengah samudera zaman.
Dan dari sinilah kita mulai,
dengan membaca dan menjaga,
dengan belajar dan merawat,
dengan menyatukan ilmu dan cinta dalam tubuh yang sehat,
maka langit akan kembali menyapa kita,
sebagaimana dulu ia menyapa seorang manusia pilihan,
dengan satu kata agung: “Bacalah.”
Wallahu a’lam.