“Emas” Di Era Modern; Minyak, Tepung, dan Gula.

Image - Emas Di Era Modern - Minyak, Tepung, dan Gula.

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Kajian Edisi Mei 2025.
Oleh: Muhammad Irfan Zidny.

Sejak awal peradaban, manusia memanfaatkan kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Minyak dari biji dan buah, tepung dari biji-bijian utuh, dan gula dari madu atau sari tebu adalah bagian dari pangan alami yang digunakan dengan cara sederhana dan secukupnya. Namun, seiring dengan munculnya revolusi industri, ekspansi kolonial, dan berkembangnya sistem pangan global, ketiga bahan ini mengalami perubahan fundamental dalam cara diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Kini, minyak, tepung, dan gula dalam bentuk ultra-proses telah menjadi komponen utama dalam makanan modern, yang justru terbukti menjadi faktor risiko utama dari berbagai penyakit kronis. Artikel ini akan menelusuri perjalanan historis dan transformasi kimiawi dari ketiga bahan tersebut, serta mengulas secara mendalam bagaimana mereka memengaruhi tubuh manusia berdasarkan bukti ilmiah.

Minyak, dalam bentuk alaminya, merupakan sumber lemak sehat yang kaya akan antioksidan dan asam lemak esensial. Minyak zaitun dalam tradisi Mediterania, minyak kelapa dalam budaya Asia Tenggara, serta minyak wijen dalam pengobatan Cina kuno, merupakan contoh dari konsumsi minyak tradisional yang memberi manfaat besar bagi tubuh. Sebuah studi oleh Estruch et al. (2013) dalam The New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa konsumsi minyak zaitun extra virgin secara rutin dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskular sebesar 30% dalam populasi risiko tinggi. Namun, industrialisasi pangan telah memunculkan minyak nabati olahan seperti minyak canola, kedelai, dan jagung yang melalui proses ekstraksi pelarut (biasanya heksana), pemurnian, dan deodorisasi, yang tidak hanya menghilangkan zat gizi penting tetapi juga menghasilkan lemak trans dan oksidasi lipid.

Lemak trans, yang terbentuk dalam proses hidrogenasi parsial minyak untuk meningkatkan stabilitas produk makanan, terbukti berbahaya secara signifikan. Mozaffarian et al. (2006) menyimpulkan bahwa konsumsi lemak trans meningkatkan risiko penyakit jantung koroner, resistensi insulin, dan inflamasi sistemik. Selain itu, minyak olahan modern cenderung mengandung rasio omega-6 yang sangat tinggi dibandingkan omega-3, yang berkontribusi terhadap peradangan kronis, seperti yang dijelaskan dalam American Journal of Clinical Nutrition oleh Simopoulos (2002). Perubahan rasio ini berpengaruh besar terhadap imunitas, regulasi hormon, dan bahkan perkembangan neurokognitif.

Tepung, sebagai representasi karbohidrat utama dalam banyak budaya, dulunya digiling dari biji gandum atau padi secara tradisional. Proses ini mempertahankan komponen penting dari biji, seperti bran (kulit luar kaya serat) dan germ (bagian embrio biji kaya vitamin dan lemak sehat). Tepung utuh mengandung serat tidak larut yang penting dalam menjaga kesehatan usus dan metabolisme. Namun, dengan ditemukannya teknologi penggilingan roller pada abad ke-19, tepung putih rafinasi menjadi produk dominan karena tampilan dan daya tahannya yang lebih baik. Sayangnya, tepung ini kehilangan hingga 70–80% kandungan nutrisinya, seperti yang dijelaskan dalam Journal of Food Composition and Analysis oleh Marlett (1997).

Tepung putih memiliki indeks glikemik tinggi, menyebabkan peningkatan glukosa darah secara cepat, yang dalam jangka panjang memicu hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Dalam studi prospektif Nurses’ Health Study yang terkenal (Liu et al., 2000), konsumsi tinggi karbohidrat olahan berhubungan erat dengan meningkatnya risiko diabetes tipe 2. Kombinasi tepung putih dengan minyak olahan dan gula menjadi sangat berbahaya karena menciptakan produk makanan ultra-proses seperti roti empuk, mie instan, dan biskuit yang miskin gizi namun tinggi kalori.

Sementara itu, gula memiliki sejarah yang sangat terkait dengan kolonialisme dan perubahan ekonomi global. Awalnya, pemanis diperoleh dari madu, sari buah, atau gula aren dalam jumlah terbatas dan digunakan dalam konteks ritual atau pengobatan. Namun, sejak abad ke-17, perkebunan tebu di Karibia dan Amerika Selatan menjadi pusat produksi gula dunia. Gula putih (sukrosa) kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya makanan Barat. Dalam perkembangannya, gula mengalami transformasi menjadi fruktosa tinggi (high-fructose corn syrup, HFCS) yang mulai diproduksi secara massal di Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

Robert Lustig (2009), dalam kuliah terkenalnya “Sugar: The Bitter Truth,” menjelaskan bahwa fruktosa metabolisme-nya tidak tergantung insulin, tetapi dimetabolisme langsung oleh hati, mirip dengan alkohol. Konsumsi fruktosa berlebihan memicu perlemakan hati non-alkoholik (NAFLD), hiperurisemia, dan resistensi insulin. Studi-studi epidemiologis juga menunjukkan korelasi yang kuat antara konsumsi minuman manis dengan obesitas anak, seperti ditunjukkan dalam Lancet oleh Malik et al. (2010). Lebih jauh lagi, gula meningkatkan dopamin di otak secara signifikan, menjadikannya adiktif, dan ini memperparah pola konsumsi berulang yang merusak metabolisme.

Ketiga bahan ini—minyak olahan, tepung rafinasi, dan gula putih—bertemu dalam banyak produk ultra-proses yang kini mendominasi konsumsi global. Dalam Public Health Nutrition, Monteiro et al. (2018) menjelaskan bahwa makanan ultra-proses merupakan penyebab utama lonjakan penyakit tidak menular (non-communicable diseases, NCD) seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, hingga kanker. Produk-produk ini bukan hanya rendah nutrisi, tapi juga mengandung aditif, emulsifier, pewarna buatan, dan senyawa AGE (Advanced Glycation End-products) yang mempercepat penuaan dan kerusakan sel.

Namun demikian, berbagai studi lintas budaya memperlihatkan bahwa komunitas yang mempertahankan pola makan tradisional—berbasis bahan alami, utuh, dan dimasak sendiri—memiliki angka penyakit kronis yang jauh lebih rendah. Studi Blue Zones oleh Dan Buettner menemukan bahwa penduduk Okinawa, Ikaria, dan Nicoya—yang menghindari makanan ultra-proses dan tetap mengkonsumsi makanan lokal berbasis sayuran, minyak alami, dan pemanis alami—memiliki umur panjang dan kualitas hidup tinggi. Kembali ke pangan utuh adalah strategi yang kini disarankan WHO dan FAO dalam Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health (2004).

Narasi panjang ini menyampaikan pesan penting: bahwa tidak ada yang salah dengan minyak, tepung, dan gula dalam bentuk alaminya. Justru mereka adalah bagian dari rahmat alam bagi tubuh manusia. Namun, bentuk industri mereka—yang diciptakan demi keuntungan dan efisiensi produksi—adalah pemicu berbagai penyakit kronis yang kini menghantui peradaban modern. Transformasi pangan telah menjadikan tubuh manusia sebagai ladang percobaan bagi bahan-bahan yang dulunya tidak dikenali oleh sistem biologis kita. Untuk itu, penting bagi masyarakat, pemerintah, dan praktisi kesehatan untuk mengedukasi diri dan kembali pada prinsip-prinsip sederhana: makan makanan utuh, hindari ultra-proses, dan biarkan tubuh mengenali makanan sebagaimana nenek moyang kita mengenalnya.

Referensi Ilmiah:

  1. Estruch R. et al. (2013). Primary Prevention of Cardiovascular Disease with a Mediterranean Diet. New England Journal of Medicine.
  2. Mozaffarian D., Katan M.B., Ascherio A., Stampfer M.J., Willett W.C. (2006). Trans fatty acids and cardiovascular disease. New England Journal of Medicine.
  3. Simopoulos A.P. (2002). The importance of the ratio of omega-6/omega-3 essential fatty acids. Am J Clin Nutr.
  4. Liu S. et al. (2000). Dietary glycemic load and risk of type 2 diabetes. American Journal of Clinical Nutrition.
  5. Lustig R.H. (2009). Fructose: It’s Alcohol Without the Buzz. Nature Reviews Endocrinology.
  6. Malik V.S., Schulze M.B., Hu F.B. (2010). Intake of sugar-sweetened beverages and weight gain: a systematic review. The Lancet.
  7. Monteiro C.A., Cannon G., Levy R., Moubarac J.-C., Louzada M.L.C., et al. (2018). Ultra-processed foods: what they are and how to identify them. Public Health Nutrition.
  8. Marlett J.A. (1997). Dietary fiber and resistant starch: Health implications. Journal of Food Composition and Analysis.
  9. Pollan M. (2008). In Defense of Food: An Eater’s Manifesto. Penguin Press.
  10. WHO/FAO (2004). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health.
  11. Buettner D. (2010). The Blue Zones: Lessons for Living Longer from the People Who’ve Lived the Longest. National Geographic.

Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *