Pendidikan Karakter Negara Maju: “Adab”.

image - Pendidikan Karakter Negara Maju

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Kajian edisi Juni 2025.
Oleh Muhammad Irfan Zidny.

Dalam dinamika global yang makin kompleks, pendidikan tidak bisa lagi dilihat sebagai proses pengisian informasi semata. Ia harus dimaknai sebagai medan pembentukan manusia utuh—yang tidak hanya cakap berpikir, tetapi juga mampu merasa dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang luhur. Negara-negara maju yang telah berhasil menciptakan ekosistem pendidikan unggul menunjukkan bahwa kunci keberhasilan mereka bukan semata pada kemajuan teknologi atau kekuatan ekonomi, melainkan pada keberhasilan mereka membentuk karakter bangsa.

Pendidikan karakter yang dikembangkan di negara maju bukanlah sekadar pelengkap kurikulum. Ia merupakan napas sistem pendidikan itu sendiri. Di Finlandia, pendidikan dibangun di atas prinsip kepercayaan dan kesetaraan. Tidak ada ujian nasional yang membebani siswa, tidak ada persaingan destruktif antarsekolah. Yang ada adalah upaya kolektif membangun rasa percaya diri, empati, dan tanggung jawab sosial. Sementara di Jepang, nilai-nilai seperti disiplin, hormat kepada orang tua, kerja keras, dan kebersamaan telah menyatu dalam rutinitas pendidikan sejak taman kanak-kanak. Di Jerman, pendidikan vokasi bukan sekadar pelatihan kerja, tetapi pembentukan etika profesional dan penghormatan terhadap karya.

Pendidikan karakter di negara-negara tersebut tidak dikotakkan sebagai “pelajaran moral,” tetapi diintegrasikan dalam seluruh proses pembelajaran, tata kelola sekolah, hubungan antara guru dan siswa, serta partisipasi komunitas. Semuanya bersifat menyeluruh dan interdependen.

Namun, di balik keberhasilan mereka, pendidikan karakter tidak pernah netral dari nilai dan visi peradaban. Di sinilah kita perlu berpaling pada pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir besar yang menawarkan kerangka konseptual yang mendalam tentang pendidikan karakter dari perspektif Islam. Dalam pandangannya:

> “The aim of education in Islam is not the production of professionals but the cultivation of a good man.”
— Naquib al-Attas, Islam and Secularism (1978)

Pernyataan ini merombak paradigma umum pendidikan modern yang kerap terjebak pada orientasi pasar dan utilitarianisme. Bagi al-Attas, pendidikan harus memanusiakan manusia: menjadikan insan beradab (insān ḥādhārī) yang mengenal Tuhannya, memahami dirinya, serta menempatkan ilmu dan amal dalam orbit nilai-nilai yang benar.

Konsep adab, dalam pemikiran al-Attas, adalah pusat dari pendidikan karakter. Ia bukan sekadar sopan santun, tetapi mencakup pengenalan terhadap kedudukan segala sesuatu secara tepat, termasuk kedudukan ilmu, guru, diri, dan Tuhan. Adab inilah yang menjadi pemisah antara sekadar orang terpelajar dan orang yang benar-benar berilmu. Dalam kata-katanya:

> “The loss of adab is the corruption of knowledge.”
— Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (1979)

Maka, pendidikan karakter sejati bukanlah sekadar program pengembangan moral, tetapi transformasi epistemologis—pembersihan jiwa dan akal dari kerancuan nilai dan makna. Inilah akar dari krisis pendidikan modern menurut al-Attas: terputusnya ilmu dari adab dan ketundukan kepada kebenaran ilahiah.

Dalam kerangka ini, jika negara-negara berkembang ingin membangun sistem pendidikan karakter yang tidak sekadar meniru Barat tetapi menggali khazanahnya sendiri, maka mereka perlu merumuskan kembali pendidikan sebagai proyek peradaban. Beberapa langkah strategis dapat diambil untuk menuju sistem pendidikan karakter yang unggul dan berakar:

  1. Pondasi Filosofis yang Jelas: Pendidikan karakter harus dibangun di atas konsep manusia yang benar. Jika manusia dipahami hanya sebagai makhluk ekonomi, maka pendidikan akan mencetak manusia kompetitif tapi kehilangan jiwa. Dalam pandangan Islam, manusia adalah khalifah dan abd, makhluk berakal dan beradab, yang harus dikenalkan kepada hakikat penciptaannya.
  2. Integrasi Ilmu dan Adab: Kurikulum harus dirancang untuk tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai, makna, dan tujuan dari ilmu itu. Pembelajaran harus melatih akal dan menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs) secara bersamaan.
  3. Guru sebagai Teladan: Guru tidak boleh hanya menjadi penyampai pengetahuan, tetapi juga penjaga nilai. Al-Attas menekankan pentingnya chain of transmission yang tidak terputus dari generasi beradab. Oleh karena itu, pelatihan guru harus meliputi dimensi spiritual dan etis.
  4. Lingkungan sebagai Madrasah Karakter: Sekolah harus menjadi ruang beradab, bukan hanya tempat ujian. Bahasa yang digunakan, sistem penghargaan dan hukuman, suasana kelas, bahkan desain arsitektur, harus mencerminkan nilai-nilai luhur.
  5. Keterlibatan Komunitas dan Keluarga: Karakter tidak bisa dibentuk hanya di ruang kelas. Sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat mutlak diperlukan untuk membangun lingkungan nilai yang konsisten. 
  6. Kurikulum Reflektif dan Proyek Sosial: Siswa harus diajak merefleksikan kehidupan, bukan hanya menghafal teori. Proyek sosial, kegiatan pengabdian, dan pengalaman nyata di lapangan bisa menjadi bagian integral dari pembelajaran karakter. 
  7. Evaluasi yang Holistik: Penilaian tidak cukup dengan angka. Harus dikembangkan bentuk evaluasi naratif, portofolio karakter, catatan etis siswa, hingga pengamatan guru terhadap perkembangan kepribadian siswa.

Pendidikan karakter sejati tidak bisa dibangun secara instan. Ia membutuhkan waktu, keteladanan, sistem yang mendukung, dan komitmen nasional. Negara maju telah menempuh jalan panjang, dan bangsa-bangsa lainnya harus menggali dan membangun fondasinya sendiri, bukan sekadar meniru bentuk luar.

Sebagaimana ditegaskan oleh al-Attas:

> “True education is directed towards the recognition and acknowledgment of the proper place of things in the order of creation, leading to wisdom (ḥikmah) and justice (‘adl).”

Maka, pendidikan karakter bukan sekadar soal moralitas sosial, tetapi jalan menuju keadaban, kebijaksanaan, dan kemuliaan hidup sebagai makhluk yang bertanggung jawab di hadapan Allah dan masyarakat. Inilah panggilan sejati pendidikan: menjadikan manusia sebagai penjaga makna, bukan sekadar pemakai alat.

Referensi Ilmiah dan Filosofis:

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. ABIM, 1978.

Al-Attas, S. M. N. The Concept of Education in Islam. ISTAC, 1991.

Lickona, Thomas. Educating for Character. Bantam Books, 1991.

Sahlberg, Pasi. Finnish Lessons 2.0. Teachers College Press, 2015.

CASEL. What is Social Emotional Learning (SEL)? www.casel.org

Noddings, Nel. The Challenge to Care in Schools. Teachers College Press, 2005.

OECD. Future of Education and Skills 2030. OECD Publishing, 2020.

UNESCO. Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education. 2021.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *