Mohammad Natsir: Pelita Yang Tak Pernah Padam

image - Mohammad Natsir Pelita Yang Tak Pernah Padam

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Manaqib edisi Mei 2025.
Oleh: Muhammad Irfan Zidny.

Di kaki pegunungan Alahan Panjang, Sumatera Barat, angin pagi yang lembut menyapa sebuah rumah sederhana. Di sinilah, pada 17 Juli 1908, lahir seorang anak lelaki bernama Mohammad Natsir. Ia tumbuh bukan sekadar menjadi bagian dari sejarah Indonesia, tetapi menjadi salah satu arsitek peradaban—seorang ulama, negarawan, pendidik, pejuang, pemikir, dan teladan hidup. Ia bukan hanya seorang tokoh politik, tetapi simbol dari keterpaduan antara kecerdasan, iman, kesederhanaan, dan kerja keras.

Jejak Awal Sang Intelektual

Sejak kecil, Natsir telah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu pengetahuan. Ia menempuh pendidikan awal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Solok, lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang, dan kemudian ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung. Di kota inilah, ia berkenalan dengan tokoh-tokoh besar dan pemikiran global.

Di AMS, ia tidak hanya unggul dalam pelajaran sastra dan filsafat Barat, tetapi juga sangat dalam menggali ajaran Islam. Ia belajar langsung dari tokoh seperti Ahmad Hassan dan terlibat aktif dalam Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam progresif. Di tengah dominasi pemikiran sekuler dalam pendidikan kolonial, Natsir tampil sebagai pengecualian—memadukan rasionalitas dan spiritualitas dalam hidupnya.

Di masa mudanya, Natsir sudah menguasai lima bahasa asing: Arab, Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Ia belajar filsafat Barat dan Islam sekaligus, membaca karya Plato dan Kant bersamaan dengan Ibnu Khaldun dan al-Ghazali. Ia bahkan belajar musik dan mahir memainkan biola—bukti bahwa bagi Natsir, Islam tak pernah anti seni, selama seni itu dituntun iman.

Namun, keistimewaan sejati Natsir bukan hanya pada penguasaan ilmu. Ia memiliki manajemen waktu yang sangat disiplin. Ia membagi harinya dalam blok-blok waktu untuk menulis, membaca, mengajar, berdiskusi, berorganisasi, dan beribadah. Ia bangun sebelum subuh untuk menulis, mengisi hari-harinya dengan kegiatan bermanfaat, dan menutup malam dengan refleksi spiritual. Hidupnya adalah harmoni antara akal dan hati, antara kerja dan doa.

Perjuangan Pemikiran dan Pendidikan

Pada usia dua puluhan, Natsir mendirikan Sekolah Pendidikan Islam di Bandung, sebuah lembaga yang menjadi pionir pendidikan Islam modern. Ia menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Di sekolahnya, matematika diajarkan bersama tafsir, logika diajarkan seiring akidah. Ia yakin bahwa kemajuan umat Islam hanya mungkin jika pendidikan dibangun di atas fondasi wahyu dan akal.

Dalam tulisan-tulisannya, Natsir menantang pemikiran sekuler. Artikel terkenalnya “Islam dan Sekularisme” menjadi referensi penting bagi pemikir Muslim. Ia tidak menolak Barat secara membabi buta, namun memilih jalan tengah—mengambil ilmu, menolak nilai yang merusak. Ia menyuarakan bahwa Islam bukan sekadar agama privat, tetapi sistem nilai yang mengatur kehidupan manusia secara utuh.

Di berbagai majalah seperti Pembela Islam, Panji Masyarakat, dan Pedoman Masyarakat, Natsir menuangkan pikirannya dengan gaya yang jernih, argumentatif, dan tetap santun. Ia membicarakan tema besar seperti demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial—semuanya dalam bingkai Islam. Ia tidak sekadar menjadi penulis, tapi pengarah opini publik dan pencerah umat.

Pengabdi Bangsa dan Negara

Salah satu tonggak terbesar dalam sejarah perjuangan Natsir adalah Mosi Integral 1950. Dengan retorika yang tenang namun bernas, ia berhasil meyakinkan parlemen agar Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Tanpa kekerasan, tanpa manuver politik kotor, ia menyatukan kembali bangsa yang tercerai. Atas keberhasilan ini, ia diangkat menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia ke-5.

Namun, jabatan tak pernah memabukkan Natsir. Ketika kekuasaan mulai menyimpang dan partainya, Masyumi, dibubarkan, ia tetap tenang. Ia lebih memilih prinsip daripada kenyamanan. Ia sempat ditahan karena tuduhan yang tak pernah terbukti terkait PRRI, tapi tak sekalipun mencaci negara. Ia kembali ke jalan dakwah, membangun umat dari bawah.

Melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), ia menyebar para dai ke daerah-daerah terpencil. Ia mendirikan madrasah, membina muallaf, dan membangun sistem kaderisasi da’i. Ia tidak mencari popularitas, hanya mencari ridha Allah. Baginya, membangun satu manusia yang sadar akan Tuhannya lebih bernilai daripada seribu pidato di panggung politik.

Kesederhanaan Seorang Raksasa Intelektual

Di tengah gemilang prestasi dan popularitas, Natsir hidup sangat sederhana. Ia menolak semua fasilitas mewah dari negara. Rumahnya kecil, perabotannya biasa saja. Ia pernah berkata, “Apa gunanya kekayaan jika ia menjauhkan kita dari tugas kita kepada umat dan bangsa?” Ia tak ingin anak-anaknya dimanjakan oleh status ayahnya sebagai tokoh besar. Ia mendidik mereka dalam kesahajaan dan keteladanan.

Dalam hidupnya, tak ada waktu yang terbuang. Bahkan dalam perjalanan kereta api atau pesawat, ia menulis, membaca, atau merenung. Waktu baginya adalah nikmat sekaligus amanah. Dalam salah satu nasihatnya, ia berkata:

“Waktu bukan hanya emas, tapi hidup itu sendiri. Maka jangan engkau habiskan waktumu untuk hal yang tak membuatmu lebih dekat kepada Allah dan lebih bermanfaat bagi manusia.” 

Warisan yang Tak Pernah Usang

Natsir telah tiada. Ia wafat pada 6 Februari 1993 dalam keadaan bersih dari dunia, tidak meninggalkan kekayaan apapun, hanya nama baik, karya ilmiah, dan jutaan jiwa yang tercerahkan. Namun pikirannya hidup. Ia menjadi tokoh yang dijadikan rujukan oleh intelektual Muslim dunia, dihormati oleh Timur dan Barat. Ia dianugerahi King Faisal Award dari Arab Saudi atas jasa-jasanya dalam dakwah dan pemikiran Islam.

Pemikirannya menjadi dasar pergerakan pendidikan Islam integratif di Indonesia. Strateginya dalam dakwah menjadi model di berbagai lembaga. Pandangannya tentang hubungan Islam dan negara masih menjadi bahan diskusi para cendekiawan hingga hari ini.

“Ilmu tanpa iman adalah buta, dan iman tanpa ilmu adalah lumpuh.”

“Berjuang di jalan Allah tidak menuntut hasil, tapi ketulusan niat dan keikhlasan amal.”

“Jika engkau tidak sibuk dalam kebaikan, maka engkau akan disibukkan oleh keburukan.”

Mohammad Natsir adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan Islam Indonesia. Ia bukan sekadar tokoh, tapi cermin bagi generasi muda tentang bagaimana hidup dengan idealisme, ilmu, iman, dan kerja keras. Dalam zaman yang penuh guncangan nilai, keteladanannya adalah pelita yang tak pernah padam.

Referensi Utama:

  1. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (1945–1965), Grafiti Press.
  2. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Mizan.
  3. Burhanuddin Daya, Polemik Negara Islam: Pemikiran Politik Mohammad Natsir dan Konsep Negara Islam, LKiS.
  4. Mohammad Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang.
  5. A. Hasan Basri, Natsir: Dakwah dan Pemikiran, DDII Press.
  6. Taufik Adnan Amal, Natsir: Cendekiawan Pejuang dalam Sorotan Pers 1945–1950, Mizan.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *