H.O.S. Tjokroaminoto; Guru Para Pemimpin, Sang Raja Tanpa Mahkota.

image - H.O.S. Tjokroaminoto; Guru Para Pemimpin, Sang Raja Tanpa Mahkota

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Manaqib edisi Juni 2025.
Oleh: Muhammad Irfan Zidny.

Dalam lorong waktu sejarah Indonesia, ada satu nama yang disegani kawan dan lawan, yang dikenang bukan karena harta atau kuasa, tapi karena ide, karakter, dan pengaruhnya yang melampaui zaman: Haji Oemar Said Tjokroaminoto, atau lebih dikenal dengan H.O.S. Tjokroaminoto.

Ia tidak mewarisi tahta, tapi semua pemilik tahta ideologis modern Indonesia—dari kiri, kanan, nasionalis, religius—pernah duduk di bawah atap rumah dan kata-katanya. Ia adalah guru bangsa, tetapi bukan guru biasa. Ia mengajarkan kemerdekaan, tapi dengan cara yang penuh martabat. Ia mendidik dengan kalimat, menaklukkan dengan pikiran, dan memimpin dengan keteladanan.

Dari Darah Bangsawan ke Pelayanan Rakyat

Tjokroaminoto lahir pada 16 Agustus 1882 di Ponorogo, Jawa Timur, dari keluarga bangsawan berdarah biru. Ayahnya adalah seorang wedana (camat) dan kakeknya bupati. Sejak kecil, ia hidup dalam lingkungan priyayi Jawa yang terhormat, namun justru memilih meninggalkan kenyamanan itu demi membela kaum jelata. Ia menyadari bahwa kebesaran sejati bukan pada garis darah, melainkan pengabdian pada rakyat dan kebenaran.

Ia menempuh pendidikan di OSVIA (Sekolah Pegawai Bumiputra), dan menunjukkan bakat intelektual luar biasa. Ia fasih berbahasa Belanda, memiliki logika tajam, serta ketertarikan besar pada politik, ekonomi, dan filsafat. Namun lebih dari itu, ia punya kepekaan nurani yang menolak ketidakadilan kolonial.

Sarekat Islam dan Revolusi Kesadaran

Titik balik perjuangannya terjadi saat ia bergabung dan memimpin Sarekat Islam (SI), organisasi massa pertama dan terbesar di Hindia Belanda kala itu. Dari yang semula hanya perkumpulan dagang, di tangan Tjokroaminoto, SI berubah menjadi kekuatan politik rakyat terbesar dalam sejarah awal pergerakan nasional. Di masa puncaknya, anggota SI mencapai lebih dari dua juta orang.

Tjokro tidak sekadar membangkitkan amarah rakyat, tapi mengangkat martabat mereka. Ia mengajari petani untuk bersuara, buruh untuk menulis, dan pemuda untuk berpikir. Ia menyulut revolusi, bukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran dan keberanian moral.

Ia berkata:

> “Jika kamu ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, bicaralah seperti orator, dan hiduplah seperti ulama.”

Guru Para Ideolog: Dari Soekarno sampai Kartosuwiryo

Rumah Tjokroaminoto di Surabaya bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah madrasah kebangsaan, tempat para pemikir dan aktivis muda belajar—dari ideologi, retorika, hingga kedisiplinan hidup. Mereka tidur di lantai bambu, makan sederhana, tapi setiap malam berdiskusi hingga larut.

Murid-muridnya adalah nama-nama besar:

Ir. Soekarno, proklamator dan Presiden pertama RI.

Tan Malaka, pejuang kemerdekaan dan ideolog kiri.

Semaoen dan Alimin, tokoh awal PKI.

Musso, pemimpin pemberontakan 1948.

Kartosoewiryo, pendiri DI/TII.

Mereka kelak berbeda jalan, bahkan saling bertentangan, tapi satu guru membentuk dasar pemikiran mereka: Tjokroaminoto. Ini membuktikan betapa luas dan dalamnya pengaruh intelektual beliau—mampu membangkitkan spektrum ideologi dari kiri hingga kanan, semua bertitik pangkal dari semangat kemerdekaan yang beliau tanamkan.

Multitalenta dan Kecerdasan Luar Biasa

Tjokroaminoto bukan hanya orator kelas dunia—yang disebut-sebut “The Greatest Orator of the East” oleh pers Belanda—tapi juga:

Penulis tajam dalam surat kabar Oetoesan Hindia dan Fadjar Asia, yang menjadi corong pemikiran kebangsaan.

Ahli ekonomi, yang merumuskan strategi membebaskan rakyat dari kapitalisme kolonial.

Pemikir Islam progresif, yang memadukan syariat dengan semangat kebangsaan.

Organisator ulung, yang mengelola Sarekat Islam dengan sistem modern.

Ahli diplomasi, mampu bernegosiasi dengan cerdas tanpa kehilangan marwah.

Semua itu ia lakukan dengan manajemen waktu yang luar biasa. Ia membagi harinya antara membaca, menulis, memimpin rapat, berdakwah, mengajar para pemuda, dan beribadah. Dalam kesibukannya, ia tak pernah mengabaikan shalat, dzikir, dan adab ulama.

Kesederhanaan Sang Raja Tanpa Mahkota

Meski memimpin organisasi besar dan dihormati rakyat di mana-mana, Tjokroaminoto hidup sangat sederhana. Ia menolak gaji tinggi, tetap tinggal di rumah biasa, dan bahkan menolak diangkat sebagai pegawai kolonial dengan gaji besar. Hidupnya adalah simbol istiqamah, kemandirian, dan kejujuran.

Dalam pidatonya, ia menyatakan:

> “Saya tidak menjual suara rakyat kepada penjajah, karena suara itu adalah amanah Tuhan.”

Sikap inilah yang membuat Belanda menganggapnya “lebih berbahaya dari pemberontak bersenjata”. Sebab ia bukan hanya menentang, tetapi mendidik perlawanan yang berakal dan berakhlak.

Wafatnya Sang Pemimpin, Abadinya Warisan

H.O.S. Tjokroaminoto wafat pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta dalam usia 52 tahun. Ia dimakamkan di Pekuncen, dan pemakamannya dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru. Bangsa kehilangan bukan sekadar pemimpin, tapi ruh pergerakan yang berakar pada adab dan pencerahan. Warisannya bukan harta, bukan gedung, tetapi:
Generasi pemikir yang membentuk Indonesia. Konsep nasionalisme Islam yang mencerdaskan, bukan memecah. Teladan hidup yang membuktikan bahwa kesederhanaan dan kecerdasan dapat menyatu dalam satu pribadi.

Pelajaran Besar untuk Generasi Muda

Dari H.O.S. Tjokroaminoto, generasi muda belajar bahwa:

Kemerdekaan bukan diminta, tapi dibentuk melalui pendidikan dan karakter.

Menjadi pemimpin bukan tentang kekuasaan, tapi keteladanan.

Ilmu dan agama harus bersatu dalam perjuangan.

Waktu adalah senjata. Jangan disia-siakan untuk hal remeh.

Kesederhanaan adalah mahkota sejati.

> “Jangan mencari pemimpin yang hanya pandai bicara, tapi cari yang hidupnya menyatu dengan kata-katanya.”

Referensi:

1. Sjamsuddin, Nazaruddin. Tjokroaminoto: Guru Bangsa dan Pemimpin Sarekat Islam.

2. Benda, Harry J. The Crescent and the Rising Sun.

3. Soekarno. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

4. Rosihan Anwar. Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia.

5. Liputan dan dokumen arsip H.O.S. Tjokroaminoto, Perpustakaan Nasional RI.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *