KEMANA PENDIDIKAN KITA MELANGKAH ?

image - KEMANA PENDIDIKAN KITA MELANGKAH

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Oleh : Humaidi Mufa

Pendidikan Indonesia lahir melalui semangat perjuangan. Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan nasional, telah menanamkan nilai-nilai luhur bahwa pendidikan sejatinya adalah sebuah proses pembebasan atau membebaskan dari kebodohan, ketidakadilan, dan penindasan. Ia selalu bermimpi tentang pendidikan yang kemudian menghargai keberagaman, menggali potensi setiap anak, dan menjadikan mereka manusia seutuhnya.

Namun realitas hari ini sering kali jauh dari semangat itu. Ketimpangan akses pendidikan masih menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Anak-anak di kota besar menikmati teknologi, kurikulum internasional, dan berbagai fasilitas penunjang, sementara di pelosok negeri, banyak yang masih bersekolah tanpa kelas, tanpa buku, bahkan tanpa guru. Sistem pendidikan kita seperti memberi ruang lebih bagi mereka yang sudah punya, dan seakan menutup harapan bagi yang tidak.

Selain itu, kekakuan birokrasi dan penyeragaman identitas juga menjadi masalah. Pendidikan seharusnya lentur, menyesuaikan dengan konteks sosial dan budaya setempat. Tapi kurikulum yang terlalu sentralistik sering kali salah dan gagal dalam membaca kebutuhan nyata di lapangan. Anak-anak dipaksa untuk menghafal, mengejar nilai, dan lulus ujian bukan untuk memahami, bertanya, dan berpikir kritis. Mereka dimanjakan dengan siklus datar yang akhirnya menjadikan pendidikan hanya sebatas aksesoris kehidupan.

Kemudian yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah pendidikan kita mulai terlihat seperti komoditas. Sekolah dan lembaga pendidikan hanya berlomba menjual “branding”, akreditasi, dan fasilitas, seolah pendidikan adalah produk, bukan proses pembentukan karakter dan akal budi. Pendidikan mahal menjadi simbol status, bukan sebuah hak dasar yang harus terpenuhi.

Lalu, di tengah semua ini, masihkah kita setia pada cita-cita awal?

Refleksi ini bukan untuk menghakimi, melainkan mengajak kita semua baik pemerintah, pendidik, orang tua, dan siswa untuk mari bersama kembali ke akar. Pendidikan bukan soal angka, ranking, atau gengsi, melainkan tentang manusia. Tentang membuka pikiran, menumbuhkan hati, dan menyalakan api harapan.

Sudah saatnya kita berani mengevaluasi, apakah sistem yang kita pertahankan selama ini benar-benar memerdekakan, atau justru membelenggu? Apakah kita masih mendidik dengan cinta, atau sekadar menjalankan tuntutan kurikulum?

Pendidikan Indonesia harus kembali menjadi ruang tumbuh dan berkembang bukan hanya sekedar tempat belajar, tapi tempat menemukan jati diri, menumbuhkan empati, dan membangun masa depan yang inklusif dan berkeadilan. Karena sejatinya, pendidikan bukan untuk pasar, bukan untuk angka, tapi untuk manusia. (HM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *