MENAPAK JEJAK YANG TAK PERNAH HILANG

image - MENAPAK JEJAK YANG TAK PERNAH HILANG

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Refleksi Haul ke-4 Buya KH. Burhanuddin Marzuki

 Oleh: Humaidi Mufa

Empat tahun sudah dan masih kami ingat. Suaranya yang tenang, penuh kebijaksanaan, namun setiap katanya menusuk langsung ke inti hati. Tidak ada yang dibuat-buat, tidak ada yang berlebihan. Semua mengalir seperti mata air jernih, menyejukkan laksana tetesan embun, menyegarkan jiwa-jiwa yang dahaga akan makna.

KH. Burhanuddin Marzuki, atau yang kami panggil dengan penuh takdzim “Buya”, bukan sekadar pengasuh pesantren. Beliau adalah sosok murobbi yang mengayomi, guru yang membimbing dengan kasih sayang, pemimpin yang selalu menuntun dengan teladan. Kepergiannya empat tahun silam bukan hanya meninggalkan ruang kosong di tempat biasa beliau mengajar, tapi juga luka menganga di dada ribuan santri dan muhibbin yang menjadikan beliau sebagai mercusuar hidup.

Kini, dalam peringatan Haul ke-4 ini, kami kembali menziarahi kenangan itu, menapaki perlahan pesan penuh teladan yang lahir dari laku kehidupan beliau. Tidak hanya dengan doa dan tahlil, tapi juga dengan air mata yang jatuh secara diam-diam. Air mata yang bukan sekadar sedih karena kehilangan, tetapi rindu yang tak pernah reda. Rindu akan sentuhan lembut tangan beliau di pundak kami. Rindu akan senyuman khas beliau yang meneduhkan di kala kami lelah. Rindu akan sorot mata teduh yang menenangkan setiap gundah.

Buya bukan hanya pendiri Pondok Pesantren Qotrun Nada. Beliau adalah ruh dari setiap butir pasir yang menyusun bangunan ini. Setiap sudut pondok ini menyimpan jejaknya: dari ruang kecil tempat beliau mengimami jamaah dengan suara lembut dan  khusyuk, hingga teras rumah yang menjadi tempat beliau mengajarkan fiqih, akhlak, dan kehidupan. Bahkan gaya khas beliau ketika berjalan, masih terngiang jelas dalam ingatan kami.

Haul ini bukan hanya sebuah peringatan, namun sebagai momen spiritual bagi kami untuk merenung, sudah sejauh mana kami mampu meneruskan perjuangan beliau? Sudah sekuat apa kami memegang nilai-nilai yang beliau wariskan, apakah itu keikhlasan, kesederhanaan, keteguhan dalam prinsip, hingga kepasrahan total kepada Allah?

Kami sadar, Buya tidak pernah benar-benar pergi. Beliau hidup dalam barisan doa para santri yang terus belajar dan mengaji meski aktifitas sudah menguras energi. Beliau hadir dalam langkah para alumni yang mengajar dan berdakwah dengan sabar ditengah masyarakat dengan berbagai lakonnya. Beliau tumbuh dalam cita-cita kami yang tak henti ingin menjadikan Qotrun Nada sebagai pusat cahaya ilmu dan akhlak.

Empat tahun ini menjadi saksi bahwa cinta tak mengenal batas waktu. Bahwa kebaikan akan tetap hidup, selama ia diperjuangkan. Dan kami bersumpah, Buya, perjuangan ini tidak akan berhenti. Kami akan lanjutkan, meski langkah kami tak sekuat dan seteduh langkahmu. Kami akan pelihara semangatmu, meski suara kami tak semerdu zikir yang dulu engkau lantunkan di sepertiga malam.

Haul ke-4 ini adalah janji. Janji kami untuk tetap berjalan di jalan yang telah engkau tunjukkan. Dengan segala kelemahan dan keterbatasan, kami berusaha menjaga warisanmu: pondok ini, nilai-nilai ini, dan cinta ini.

Terima kasih, Buya. Engkau telah memberi kami lebih dari sekadar ilmu. Engkau memberi kami teladan hidup. Engkau menunjukkan bahwa kesholehan bukan hanya dalam ibadah, tapi dalam bagaimana kita memperlakukan sesama. Bahwa keagungan bukan pada pangkat atau gelar, tapi pada kerendahan hati yang tak pernah pudar.

Engkau boleh tiada secara fisik, tapi engkau kekal dalam sanubari kami. Dan selama Qotrun Nada masih berdiri, selama zikir masih menggema di masjid ini, selama kitab-kitab masih terbuka di hadapan para santri, namamu akan terus disebut dengan cinta dan hormat yang tak akan terhenti.

Al-Fatihah untuk Buya KH. Burhanuddin Marzuki.

HM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *