SAFINAH NAJA

image - SAFINAH NAJA

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Oleh:Jiddah Zainab

(Tribute to Sang Kyai 140621 – 140625)

Malam itu laut tenang, Langit ditemani bintang, Angin semilir sejuk menghantam ombak tanpa deburan, Semua rahasia menjadi simpanan Tuhan dan semesta, Tak ada yang mampu meraba taqdir, walau hampir tiba di depan mata, Laut mengayunkan ombak lembut, melenakan dan menina bobokan penuh rasa aman dan nyaman.

Namun semua berubah dalam sekejap, Saat satu petir besar Menyambar, layar patah tak lagi terkembang, Perahu oleng terombang ambing didorong gelombang, Sang Nahkoda bergerak bebas, ke arah Tuhan saat buritan menghantam karang,

Tetiba kemudi kosong, tanpa cengkraman tangan hebat Sang Nahkoda, Kepergian mendadak membuat semua terhenyak diam, senyap, tak ada yang siap.

Kemudian geladak riuh, semua sibuk berlari berebut sekoci, menyelamatkan diri. Hanya satu mata memandang kemudi, dengan tatapan sendu dan nanar, Dalam takut dan bodoh, sepasang kaki berjalan ke arah yang berlawanan dengan penyelamatan ribuan penumpang.

Dengan pasrah dan lemah, tangan nya mulai memegang kemudi kapal, sendiri dalam tangis yang dalam, Namun ombak tak lagi bersahabat, Bahkan kini Laut mendadak bersepakat, untuk membuat kapal berayun kencang dengan deburan dan dentuman.

Tangan kecil itu memulai segalanya dengan arah yang tak pasti, Buliran air berlomba mengalir dari tangisan dan peluh yang tak sempat lagi di usap, Tangan lemah itu hanya mampu mencengkeram kemudi sambil Berharap perahu tak lagi oleng karna deburan dahsyat ombak yang menghantam dari segala arah.

Tak ada rasi bintang dan rembulan yang menemani, Semua bersembunyi di awan awan hitam yang memayungi Dalam kegelapan malam perahu itu terombang ambing berbarengan dengan jeritan pilu tentang ketidak pastian arah dan tujuan, semua penumpang butuh keselamatan hingga mengabaikan perahu yang hampir karam. Semua penumpang cuma perduli sekoci tapi melupakan kemudi.

Lautan bagai tak bertepi, saat rasi bintang tak lagi menemani Namun tangan kemudi itu faham bahwa pilihan hidup di perahu itu hanya dua, yaitu mencoba menaklukkan lautan atau pasrah di taklukkan oleh lautan.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan perahu itu terombang ambing dalam ketidakpastian, Tapi tangan kecil itu tetap bertahan mencengkeram kemudi dalam lemah dan lelah yang berkepanjangan, Mata sembab dan nanar dipaksa fokus  untuk mampu menatap lurus ke depan  dengan haluan yang tak lagi memiliki layar yang terkembang.

Tuhan memberikan gelombang kuat saat perahu itu tidak siap, Namun Tuhan Maha Tahu… kapan ombak harus bergelombang dan kapan ombak dibuat terdiam tenang, Tuhan akan selalu menjadi sebaik baik pengatur semesta, doa dalam simpuh merupakan cara terlemah untuk berdamai dengan pengaturan Tuhan

Kini empat tahun berlalu

Perahu itu masih tetap berlayar dengan ketidak sempurnaan geladak, Namun ketidak sempurnaan yang dimiliki tak membuat perahu oleng hingga jangkar harus di tambatkan di dasar lautan.

Perahu dan Sang Nahkoda Panutan adalah jalan Tuhan yang membuat nahkoda amatir tetap memilih bertahan dalam diam. Tugas nahkoda amatir hanya fokus pada tujuan walau berbeda arahan.

Dan pada saat yang tepat Tuhan mengirimkan satu rasi bintang terang yang menuntun perahu itu ke arah yang diinginkan.

Saat gelombang kembali tenang, para awak kapal mulai berbenah dalam komando nahkoda amatir yang tetap bertahan walau cuma di temani satu rasi bintang.

Butuh effort bagi nahkoda amatir untuk mampu menyatukan isi kepala ratusan awak kapal agar faham bahwa perjalanan dengan perahu ini adalah perjalanan panjang di lautan yang mungkin tanpa tepian.

Nahkoda amatir berusaha memberi semangat agar awak kapal mau bergerak dalam sinergi di luar kabin. Memperbaiki segala sesuatu diatas lambung kapal dari buritan ke haluan. Memastikan semua kondisi supaya kapal ini tak pernah karam.

Para Awak kapal berjibaku dengan segala kekuatan yang tersisa untuk memastikan perahu ini kuat melaju tanpa terganggu gelombang.

Cinta suci dan niat tulus yang menyatukan rasa antar awak kapal dan penumpang untuk bisa selamat bersama dalam perjalanan panjang menembus lautan, Karna dalam cinta nya tangan kecil itu faham bahwa Sang Nahkoda Panutan tidak akan meninggalkannya sendirian walau sudah berbeda alam Peluh dan air mata yang tersimpan menjadi saksi bahwa waktu akan membuktikan cinta itu tidak selalu terungkap melalui kata yang terucap.

Tetap bergeming dengan gelombang yang menerjang adalah manifestasi dari cinta yang terpendam, Tetap bertahan di tengah kegelapan tanpa rasi bintang adalah bukti cinta yang terang Namun Cinta tulus laksana rasi bintang terang yang menuntun perahu dalam kegelapan malam di antara langit dan lautan.

Lewat tangan para awak kapal, layar di geladak kembali terkembang, sekoci sekoci kembali terikat di tambatan hingga ribuan penumpang kembali tenang.

Dan kini Sang Nahkoda tersenyum lembut di balik awan melihat rasi bintang menuntun nahkoda amatir menjalankan perahu demi keselamatan ribuan penumpang untuk sampai bersama di tujuan yang diinginkan.

ترجو االنجاة ولم تسلك مسالكها # ان السفينة لا تجري على اليبس

Qotrun Nada, Sabtu 14 Juni 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *