Oleh: Humaidi Mufa, M.Pd.
Dalam hidup, kita sering mendengar ungkapan lama “Patah tumbuh, hilang berganti.” Kalimat ini sederhana, karena secara alamiah seolah menenangkan kita bahwa setiap kehilangan akan ada gantinya, setiap kerusakan akan diperbaiki. Namun, di balik kalimat itu, tersimpan sebuah kelemahan yang jarang kita sadari, ia mengajarkan kita untuk menunggu masalah datang terlebih dahulu, baru kemudian bergerak mencari solusi.
Di sebagian besar perjalanan manusia, pola pikir reaktif ini begitu umum. Kita membiarkan kursi kosong, lalu sibuk mencari siapa yang akan duduk di sana. Kita membiarkan mesin rusak, lalu baru memanggil tukang. Kita membiarkan krisis datang, lalu baru membuat rencana. Padahal, hidup tidak selalu memberi kita waktu untuk mencari pengganti atau memperbaiki yang patah.
Di sinilah, sebuah filosofi yang lebih tinggi menjadi sangat berarti “Sebelum patah sudah tumbuh, sebelum hilang sudah berganti.” Ini bukan sekadar kalimat indah ia adalah sikap hidup yang mengubah cara kita memandang keberlanjutan. Filosofi ini mengajarkan kita untuk tidak hanya merespons perubahan, tetapi mendahului perubahan itu sendiri.
Filosofi ini lahir dari pemahaman bahwa keberlangsungan baik dalam pendidikan, organisasi, maupun kehidupan pribadi tidak boleh bergantung pada keberuntungan. Ia harus dibangun dari kesadaran, perencanaan, dan keberanian untuk selalu menyiapkan generasi, program, dan solusi baru bahkan ketika yang lama masih berjalan dengan baik.
Begitu pula dalam organisasi, keluarga, bahkan dalam diri kita sendiri. Seorang guru yang bijak tidak hanya mengajar muridnya untuk lulus ujian, tetapi juga menyiapkan mereka menjadi guru bagi generasi berikutnya. Seorang pemimpin yang visioner tidak menunggu masa pensiun untuk mencari penerus, tetapi membimbing calon-calon pemimpin sejak awal. Seorang sahabat sejati tidak hanya hadir saat diminta, tetapi sudah mengulurkan tangan sebelum kita jatuh.
Dan yang terpenting, prinsip “Sebelum patah sudah tumbuh, sebelum hilang sudah berganti” menumbuhkan rasa tenang. Tenang karena kita tahu, bahkan jika satu pintu tertutup, pintu lain sudah terbuka. Bahkan jika satu cahaya padam, lampu lain sudah menyala. Keberlanjutan tidak lagi menjadi beban, melainkan aliran alami yang terus bergerak.
Dalam dunia yang cepat berubah, prinsip ini bukan hanya relevan bagi sebuah pesantren atau lembaga pendidikan. Ia berlaku untuk bisnis, keluarga, komunitas, bahkan bagi diri kita pribadi. Jika kita mampu menghidupkan filosofi ini, kita akan menyadari bahwa hidup yang berkelanjutan bukanlah hidup yang tanpa masalah, tetapi hidup yang selalu punya jalan keluar bahkan sebelum masalah itu datang.
Jangan tunggu kehilangan untuk menghargai yang ada, dan jangan tunggu kehancuran untuk mulai membangun. Sebab dalam hidup, mereka yang bersiap lebih awal bukan hanya selamat, tetapi akan mampu survive dan memimpin perjalanan menuju masa depan. (HM)





