Sajian Utama edisi Mei 2025.
Oleh: Muhammad Irfan Zidny.
Kita hidup dalam dunia yang terus-menerus membisikkan satu hal: kamu belum cukup. Belum cukup kaya, belum cukup cantik, belum cukup sukses, belum cukup dikenal. Dan karena itu, kita terus mengejar — tanpa henti, tanpa jeda. Kita membeli apa yang tak kita perlukan, bekerja untuk hal-hal yang tak kita cintai, dan menampilkan versi diri yang tak sepenuhnya kita kenali. Padahal, kebahagiaan bukan sesuatu yang selalu berada di depan, menunggu kita setelah satu pencapaian lagi, satu pembelian lagi, satu pengakuan lagi. Kebahagiaan, pada dasarnya, ada di sini, sekarang, ketika kita memilih untuk merasa cukup.
Ada dua hal yang sering disamakan tapi sejatinya sangat berbeda: kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah hal-hal yang membuat kita hidup. Keinginan, sering kali, adalah hal-hal yang justru membuat kita lelah. Kita butuh makanan untuk bertahan hidup, tapi ingin makanan mewah untuk dianggap berkelas. Kita butuh pakaian untuk menutup tubuh, tapi ingin pakaian bermerek agar dipuji. Kita butuh rumah untuk berteduh, tapi ingin rumah megah agar tampak berhasil. Dalam kebingungan antara keduanya, banyak orang kehilangan arah. Mereka bekerja sepanjang waktu untuk memuaskan keinginan, padahal jiwanya sedang kelaparan karena kebutuhan yang lebih mendalam — kebutuhan akan ketenangan, makna, dan cinta yang tulus.
Tubuh kita adalah makhluk yang bijaksana. Ia tidak meminta lebih dari yang ia perlukan. Ia hanya butuh tidur yang cukup, makanan yang sederhana, gerakan yang teratur, dan waktu istirahat yang layak. Tapi karena kita mengikuti keinginan, tubuh justru sering menjadi korban. Kita memberinya terlalu banyak makanan olahan, terlalu sedikit waktu tidur, dan terlalu banyak tekanan untuk terus produktif. Padahal dalam kesederhanaan gaya hiduplah justru kesehatan sejati ditemukan. Tubuh tidak butuh harta untuk sehat, ia hanya butuh kita berhenti memaksanya menjalani hidup yang bukan jalannya.
Jiwa manusia menangis bukan karena tak punya hiburan, tetapi karena kehilangan keheningan. Ia rindu kepada sesuatu yang lebih dalam dari layar gawai, lebih sunyi dari bising kota, dan lebih jujur dari semua pencitraan. Kita mengira bahwa mengikuti semua tren akan membuat kita merasa hidup, padahal justru itu yang membuat kita kehilangan jati diri. Kesederhanaan mengajarkan kita untuk diam sejenak dan mendengarkan suara hati. Ia mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati lahir bukan dari apa yang kita miliki, tapi dari apa yang kita syukuri.
Pikiran pun, seperti jiwa, tidak tahan dijejali terus-menerus oleh ambisi yang tak berdasar. Bukan berarti ambisi salah, tapi kita perlu belajar membedakan antara impian yang mengangkat dan obsesi yang menjerat. Tidak semua peluang harus dikejar. Tidak semua tangga harus dinaiki. Ada saatnya kita memilih untuk cukup, bukan karena tidak mampu lebih, tapi karena tahu kapan berhenti adalah bentuk kecerdasan. Pikiran yang sederhana bisa melihat dunia dengan lebih jernih, bisa memilih tanpa tekanan, dan bisa berpikir tanpa takut tertinggal.
Harta dan status sering kita anggap sebagai ukuran kebahagiaan. Tapi berapa banyak orang yang justru makin kaya, makin takut kehilangan? Berapa banyak yang makin tinggi posisinya, justru makin jauh dari rasa damai? Kesederhanaan membebaskan kita dari perbudakan terhadap barang. Ia mengajarkan kita untuk memiliki harta tanpa dimiliki olehnya. Kita tetap bisa bekerja, bermimpi, dan berjuang — tapi bukan untuk memenuhi ego, melainkan untuk memenuhi nilai. Kita mengejar yang benar, bukan sekadar yang bergengsi.
Dalam hubungan sosial pun, kesederhanaan adalah kunci ketulusan. Persahabatan tidak memerlukan tempat mahal, cinta tidak butuh pameran. Yang dibutuhkan hanyalah kehadiran yang jujur, kata-kata yang benar, dan hati yang tulus. Hubungan yang paling indah adalah hubungan yang tidak dilandasi kepentingan, tapi kasih sayang yang bersahaja. Dalam kesederhanaan, kita bisa mencintai tanpa harus memiliki, bisa memberi tanpa harus dihargai, dan bisa hadir tanpa harus dipuji.
Di atas semua itu, kesederhanaan sejati ada dalam ibadah. Ketika kita berdoa bukan untuk dilihat orang, ketika kita bersedekah bukan untuk diakui, dan ketika kita taat bukan karena ingin dicintai makhluk, tetapi karena cinta kita kepada Sang Pencipta. Kesederhanaan dalam ibadah menjadikan kita hamba yang jujur. Tidak sibuk dengan label, tapi sibuk memperbaiki isi. Tidak ingin terlihat baik, tapi ingin benar-benar menjadi baik.
Kita tidak perlu lebih untuk bahagia. Kita hanya perlu jujur: apakah yang kita kejar hari ini benar-benar kebutuhan atau sekadar keinginan yang menyamar? Apakah yang kita kumpulkan ini benar-benar membawa damai, atau hanya memperpanjang haus yang tidak pernah selesai?
Kesederhanaan bukan tanda kalah, ia tanda dewasa. Ia bukan kekurangan, tapi keberlimpahan yang tidak perlu ditunjukkan. Ia bukan sikap yang miskin, tapi kekayaan yang tidak tergantung pada angka. Dalam hidup yang sederhana, kita menjadi manusia yang utuh — tidak diukur dari luar, tapi dihargai dari dalam.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah teladan terbesar kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar, makan apa yang ada, dan memberi lebih dari yang dimiliki. Dalam kesederhanaannya, beliau menaklukkan hati dunia. Dalam keterbatasannya, beliau menjadi kekasih langit. Ketika seorang sahabat menangis melihat kerasnya hidup Rasulullah, beliau hanya tersenyum dan bersabda bahwa dunia ini tak lebih dari tempat singgah bagi musafir.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Orang yang paling kaya adalah orang yang paling sedikit kebutuhannya”.
Dan di situlah seni menjadi cukup: ketika kita berhenti berlomba, dan mulai merasa damai. Ketika kita tak lagi sibuk membandingkan, tapi mulai memahami. Ketika kita tak lagi mencari lebih, tapi mulai merawat yang sudah ada. Karena kadang, yang paling kita cari sebenarnya sudah kita miliki — kita hanya belum sempat bersyukur.
Wallahu a’lam.





