Membina Cahaya Akal; Jalan Sunyi Menuju Manusia Sejati

image - Membina Cahaya Akal; Jalan Sunyi Menuju Manusia Sejati

Bagikan

WhatsApp
Facebook
LinkedIn
X

Sajian Utama edisi Juni 2025.
Oleh Muhammad Irfan Zidny.

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang menjanjikan segalanya dalam kecepatan dan kepalsuan, manusia nyaris kehilangan jati dirinya. Kita disuguhi limpahan informasi, namun jarang dituntun menuju kearifan. Kita dimanjakan dengan kemudahan, tapi tercerabut dari kebiasaan berpikir yang jernih. Di sinilah letak kerusakan paling halus: ketika manusia mengira telah mengerti segalanya, padahal ia belum mulai memahami.

Akal kritis, dalam diamnya yang lembut, adalah penjaga martabat manusia. Ia bukan sekadar cara berpikir, melainkan lentera sunyi yang menyinari ruang hati dan nurani. Dengan akal yang tajam dan hati yang jernih, manusia mampu melihat sesuatu bukan hanya sebagaimana tampaknya, tapi sebagaimana hakikatnya. Tanpa itu, ia akan terus terombang-ambing dalam opini, dikuasai arus tren, dan diperbudak wacana.

Akal kritis tidak tumbuh dari teriakan, tapi dari keheningan yang dalam. Ia lahir bukan dari banyak bicara, tapi dari kebiasaan merenung, mengamati, dan mempertanyakan. Dan seperti benih yang tak tumbuh dalam tanah yang keras, pikiran kritis tidak akan mekar dalam jiwa yang tertutup atau pongah. Maka, membina akal kritis bukan sekadar melatih logika, tetapi menyucikan niat, menundukkan ego, dan merendahkan diri di hadapan kebenaran.

Langkah-Langkah Membina Akal Kritis: Sebuah Jalan yang Sunyi

Pertama: Membudayakan diam yang berfikir, bukan diam yang lalai.
Akal tidak bekerja dalam riuh, tapi tumbuh dalam jeda. Jadikan keheningan sebagai sahabat. Dalam diam yang merenung, kita bisa bertanya pada diri: apa makna dari apa yang kulihat, yang kudengar, yang kupercayai? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dilukai? Apa dampaknya bagi dunia dan akhirat?

Kedua: Membiasakan membaca yang tidak hanya mengeja, tapi menyerap.
Bacalah dengan kesungguhan, bukan sekadar untuk mengetahui, tapi untuk mengerti. Jangan puas dengan ringkasan. Dekati teks dengan penghormatan, gali maknanya, timbang argumennya. Kembangkan kemampuan membandingkan, mengkritisi, dan menyimpulkan, tanpa kehilangan adab dan rendah hati.

Ketiga: Membangun ruang tanya yang aman dan beradab.
Akal kritis perlu dipelihara dalam lingkungan yang tidak takut berbeda. Guru yang baik bukan yang menjawab semua pertanyaan, tapi yang membuka cakrawala baru dalam diri muridnya. Orang tua yang bijak bukan yang mengatur setiap langkah anak, tapi yang membiarkannya belajar dari pilihan dan berpikir dari pengalaman. Tanyakan selalu: mengapa ini harus diterima? Adakah cara lain yang lebih adil, lebih arif, lebih benar?

Keempat: Melatih keberanian berpikir dalam kesendirian.
Berpikir kritis kerap berarti menyendiri dalam pandangan. Kita harus siap menanggung sepi karena tidak ikut arus. Tapi justru di sanalah martabat itu tumbuh. Ia bukan sikap keras kepala, tapi kesetiaan pada nurani. Berani menolak ketika mayoritas membenarkan kebatilan adalah buah dari akal yang matang dan hati yang bersih.

Kelima: Menyatukan akal dan adab.
Akal yang kritis, jika tidak disertai adab, akan menjadi alat penghancur, bukan pencerah. Maka biasakan menyampaikan kebenaran dengan lemah lembut. Gunakan logika, tapi sisipi kasih. Tegakkan pendirian, tapi jangan menjatuhkan. Karena hakikat pikiran kritis bukan untuk merasa lebih tinggi, melainkan lebih bertanggung jawab atas cahaya yang telah diberikan.

Di balik semua langkah ini, tujuan akhirnya bukan sekadar menjadikan manusia pintar, tapi menjadikannya utuh. Akal kritis bukan untuk menang debat, tapi untuk menangkap kebenaran. Ia bukan untuk menjatuhkan lawan, tapi untuk membela yang lemah. Ia bukan sekadar kemampuan, tapi amanah yang harus dijaga dengan jujur.

Dan pada akhirnya, benih-benih pemikiran yang jernih itu akan bertumbuh menjadi pohon-pohon kebaikan yang menaungi dunia. Dari satu pertanyaan yang jujur, lahirlah satu tindakan yang bijak. Dari satu renungan yang dalam, mengalir perubahan yang perlahan namun pasti. Manusia yang membina akalnya bukan hanya menyelamatkan dirinya, tapi menghidupkan kembali harapan umat manusia.

Karena dalam dunia yang penuh dusta, kebisingan, dan ilusi—pikiran yang kritis, yang jernih, yang bersumber dari hati yang suci—adalah cahaya paling terang yang masih bisa kita percayai.

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ (١٣:١٧)

Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *