Sajian Utama edisi Agustus 2025.
Oleh Muhammad Irfan Zidny.
Dalam sejarah panjang tanah Sunda, terhampar jejak ajaran kehidupan yang diwariskan leluhur dalam bentuk kearifan yang begitu dalam. Ajaran ini tidak hadir sebagai dogma kaku, melainkan mengalir layaknya sungai yang memberi kehidupan bagi sawah dan ladang. Dalam naskah-naskah kuno, dalam pupuh dan wawacan, bahkan dalam petuah lisan yang turun-temurun, tersimpan sebuah filosofi hidup yang mengajarkan manusia untuk menata diri, menjaga harmoni dengan alam, serta menumbuhkan kesadaran akan Sang Pencipta.
Salah satu ungkapan paling terkenal yang merepresentasikan pandangan hidup Sunda adalah “silih asih, silih asah, silih asuh”. Tiga kata sederhana namun sarat makna ini sejatinya adalah nafas kehidupan Sunda. Silih asih berarti saling mengasihi, menjadikan kasih sebagai pondasi hubungan antarmanusia. Silih asah adalah saling mengasah, memberi ruang untuk belajar, menegur, dan mendidik satu sama lain agar tidak tersesat dalam gelapnya kehidupan. Sedangkan silih asuh berarti saling melindungi, menjaga, dan merawat, sebagaimana orang tua merawat anaknya, atau sahabat menjaga sahabatnya. Tiga ajaran ini membentuk lingkaran kebajikan yang tak terputus, meneguhkan bahwa manusia hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kebersamaan.
Kearifan Sunda kuno juga menekankan pentingnya menjaga hubungan dengan alam. Leluhur Sunda memandang alam bukan sekadar ruang untuk dieksploitasi, melainkan rumah bersama yang harus dihormati. Dalam falsafah “leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak” (hutan rusak, air habis, manusia sengsara), tergambar dengan jelas betapa erat hubungan manusia dengan alam. Bila manusia tamak, merusak hutan, mengeringkan sumber air, maka bencana akan kembali pada dirinya sendiri. Sebaliknya, jika manusia merawat alam dengan bijak, alam pun akan memberi keberkahan yang tak terhitung.
Tak hanya itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan—yang banyak ditulis dalam kajian-kajian filologi dan antropologi—diajarkan keyakinan tentang Sang Hyang Kersa, Yang Maha Kuasa, pengatur seluruh kehidupan. Ajaran ini menanamkan kesadaran bahwa kehidupan manusia adalah titipan, sehingga harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Segala laku, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun pikiran, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dari sini lahir falsafah “hirup kudu nyunda, kudu nyantri, kudu nyantika”, yaitu hidup harus berpegang pada keluhuran budaya, pada ajaran agama, dan pada nilai kesantunan.
Naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M), yang ditulis di zaman kerajaan Sunda, menegaskan pula bahwa manusia harus mampu menata tiga hal: dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungannya. Dalam pupuhnya terdapat ajaran yang berbunyi: “Wruh sira kana wiwitaning kahirupan, ulah tinggal watekna, ulah leungit jati dirina.” Artinya: “Kenalilah asal usul kehidupan, jangan tinggalkan watak mulia, jangan hilangkan jati diri.” Dari petuah ini kita belajar bahwa kehidupan harus dijalani dengan kesadaran akan asal muasal, menjaga watak baik, dan tetap setia pada identitas yang luhur.
Kebijaksanaan Sunda juga menekankan pentingnya kesederhanaan. Dalam ungkapan “henteu kudu loba harta, nu penting loba budi”, tersirat bahwa kekayaan sejati bukanlah emas atau harta benda, melainkan budi pekerti yang luhur. Orang Sunda percaya bahwa kehormatan manusia tidak ditentukan oleh apa yang dipakai atau dimiliki, tetapi oleh bagaimana ia bersikap, berucap, dan memberi manfaat bagi sesamanya.
Kehidupan, dalam pandangan leluhur Sunda, adalah perjalanan. Ia ibarat jejak kaki di tanah basah, yang suatu hari akan hilang, tetapi bekasnya bisa menjadi penuntun bagi mereka yang datang kemudian. Oleh karena itu, setiap orang diingatkan untuk berhati-hati menapaki jalan hidup, agar meninggalkan jejak yang baik, bukan luka bagi generasi berikutnya.
Ajaran Sunda kuno, yang terekam dalam naskah Amanat Galunggung, juga mengingatkan agar manusia tidak terjerumus pada keserakahan. Di dalamnya disebutkan: “Lamun hayang mulya, kudu ngawula ka batur, ulah kumawulaan ku kadonyan.” Artinya, bila ingin mulia, maka hendaklah engkau melayani sesama, jangan diperbudak oleh dunia. Pesan ini seakan mengingatkan bahwa kemuliaan tidak datang dari ambisi duniawi, melainkan dari keikhlasan memberi.
Bila kita menyelami ajaran-ajaran tersebut, akan tampak bahwa falsafah Sunda kuno begitu relevan bagi kehidupan modern. Di tengah krisis ekologi, nilai “leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak” terasa sebagai peringatan keras. Di tengah krisis kemanusiaan, ajaran “silih asih, silih asah, silih asuh” menjadi jalan keluar yang menyejukkan. Dan di tengah kegelisahan spiritual, petuah untuk mengenal asal usul dan kembali kepada Sang Hyang Kersa menjadi cahaya yang menuntun.
Kehidupan adalah perjalanan, dan perjalanan yang sejati selalu membutuhkan pegangan. Leluhur Sunda telah memberikan pegangan itu dalam bentuk ajaran yang tidak lekang oleh zaman. Kita yang hidup hari ini hanya perlu membuka mata hati, menyelami makna, lalu menghidupkannya kembali dalam laku keseharian. Sebab, sebagaimana dikatakan dalam sebuah pepatah Sunda: “Hirup mah saukur mampir ngombe.” Hidup hanyalah persinggahan sejenak, tetapi dalam sekejap itu kita dituntut untuk membuat hidup menjadi bermakna.
Rujukan
Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2005.
Holle, K.F. Tabel van Oud-en Nieuw Indische Alphabetten met Toelichtingen. Batavia, 1882.
Atja & Ayatrohaedi. Siksa Kandang Karesian: Naskah Sunda Kuno 1518 M. Bandung: Proyek Sundanologi, 1981.
Danasasmita, Ma’mur. Amanat Galunggung: Naskah dan Ajaran Moral. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda, 1987.
Rosidi, Ajip. Manusia Sunda. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2009.
Wallahu a’lam.





